BAB VI
PROSES
PELAKSANAAN PENANGGUHAN PENAHANAN
DENGAN UANG JAMINAN
Sebagaimana diketahui
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya
didalam hukum dan kepemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kekecualiannya.
Untuk mewujudkan
pembangunan di bidang hukum dipandang perlu mengadakan usaha peningkatan dan
penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi
dan unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksana secara nyata. Dalam hal ini
sebagaimana kewenangan
penyidik dalam menentukan atau menilai besarnya uang jaminan yang diberikan
oleh undang-undang tentunya perlu didukung oleh aturan pelaksana dengan
memperhatikan 2 aspek yaitu aspek kepentingan hukum dan aspek sosial :
1.
Aspek Kepentingan Hukum.
Sebagaimana
diketahui bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk membuat tersangka menjadi
jera terhadap kejahatan yang dilakukan, tentunya ini juga dapat menjadi
pertimbangan dalam proses penangguhan penahanan misalnya ; seorang koruptor
yang terjerat hukum lalu dengan uang jaminan Rp. 1.000.000.000,- sudah dapat
menghirup udara segar di luar. Bahkan
dengan sekejap saja setelah bebas tersangka dapat menghilang, terbang ke luar
negeri yang susah untuk di lidik keberadaannya, disini telah terjadi
kepentingan hukum diabaikan.
Di era globalisasi ini sudah seharusnya hukum
ditegakkan dengan menimbulkan
konsekwensi yang perlu dipertimbangkan oleh pelaku kejahatan, apa arti bagi
seorang koruptor yang terjerat hukum mengeluarkan uang 1 milyar hanya untuk
menghirup udara segar sementara hasil kejahatannya lebih dari pada itu.
2.
Aspek Sosial.
Pelaku
kejahatan tentunya berasal dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda,
hal ini berkaitan dengan kemampuan ekonomi yang berbeda juga oleh karenanya
pertimbangan kemampuan tersangka perlu kiranya dijadikan pertimbangan di dalam
penyidik menentukan besarnya uang jaminan dengan menjadikannya aspek sosial
sebagai pertimbangan dalam penangguhan penahanan, untuk menepis anggapan bahwa
penangguhan penahanan dapat diberikan hanya kepada tersangka atau terdakwa yang
punya uang, sementara tersangka dari golongan ekonomi lemah tidak dapat
menggunakan haknya untuk mendapatkan penangguhan penahanan.
Bertolak
dari kedua aspek yang penulis sampaikan tersebut diatas, tentunya dalam proses
penangguhan penahanan dengan jaminan uang, penyidik diberi kewenangan untuk
mengaudit harta kekayaan tersangka khususnya terhadap perkara/kasus tertentu.
Kewenangan tersebut dalam penerapannya agar tidak bertentangan atau tumpang
tidih dengan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK),
perlu suatu batasan yang jelas. Dalam hal ini kalau tersangka atau terdakwa
seorang pejabat negara yang terlibat kasus korupsi dan pada dirinya dilakukan
penangguhan penahanan, penyidik dapat berkoordinasi dengan KPK untuk mengaudit
atau mengetahui harta kekayaan tersangka atau terdakwa sebagai mana kewenangan
KPK dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Pasal 12 hurup c dan f, sebagai
berikut :
c. Meminta
keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi yang terkait.
Dengan mengetahui jumlah kekayaan harta yang dimiliki oleh tersangka,
penyidik dapat menentukan besarnya uang jaminan bila tersangka mengajukan
permohonan penangguhan. Adapun besarnya
minimal 50 % s/d 80 % dari kekayaan yang dimilikinya, sehingga dengan demikian
bagi setiap tersangka atau terdakwa mempunyai konsekwensi yang tidak ringan
apabila ia melanggar perjanjian yang
telah disepakati dalam proses penangguhan penahanan.
Disamping
memberi kewenangan penyidik untuk mengaudit
harta kekayaan yang dimiliki tersangka atau terdakwa, perlu juga kiranya
penetapan patokan/standar yang jelas besarnya uang jaminan dalam proses
penangguhan penahanan terhadap perkara/kasus tertentu. Sehingga
tidak ada kerancuan dalam penyidik menentukan besarnya uang jaminan dalam
proses penangguhan penahanan dan tidak terjadi perbedaan penerapannya disetiap
daerah.
Agar pelaksanaan penangguhan
penahanan dengan uang jaminan dapat dilaksanakan secara konsekwen tentunya perlu
melibatkan unsur pengawasan yang sifatnya indipenden dan berasal dari unsur
diluar organisasi penegak hukum. Ini dimaksudkan guna penerapan aturan yang
benar sesuai ketentuan yang ada dan pemanfaatan uang jaminan tersebut dapat
digunakan untuk kepentingan yang jelas.
Selama ini
masalah jamin menjamin memang lumrah dilakukan. Tetapi ketika yang dijamin
kabur, aparat hanya bisa gigit jari. Oleh karena alasan itulah, dianggap perlu
dalam revisi atau Rancangan Undang-Undang KUHAP memasukkan klausul tambahan dalam
hal penangguhan penahanan. Masalah syarat penangguhan dan besarnya uang jaminan
ditentukan dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP).
Disamping itu
perlu juga kiranya Pasal tambahan adalah klausul ancaman pidana maksimal lima
tahun kepada siapa saja yang menjamin seseorang dengan jaminan pribadi, tetapi
orang yang dijamin ternyata kabur atau tidak bisa dihadirkan pada saat
dibutuhkan oleh penyidik. Klausul ini dimasukkan untuk mengantisipasi
kejadian-kejadian serupa tidak terulang lagi.
Untuk kedepan dalam melaksanakan tugas agar Polri lebih profesional maka
diperlukan suatu kesamaan dalam menerapkan uang jaminan terhadap semua
tersangka yang akan dilakukan penangguhan penahanan, maka diperlukan suatu
langkah - langkah yang meliputi :
a.
Sebagai wujud menjamin
persamaan setiap warga negara
kedudukannya didalam hukum, bila dikaitkan dengan kondisi sosial
masyarakat maka penyidik dapat menerapkan penangguhan penahanan tidak hanya degan jaminan uang saja, sebagaimanan diatur
dalam KUHAP pasal 31 ayat (1) bahwa jaminan penangguhan penahanan dapat berupa
jaminan orang dan jaminan uang. Oleh karena
itu bagi tersangka/terdakwa yang tidak mampu tentunya dapat menggunakan haknya
untuk mendapatkan penangguhan penahanan dengan jaminan orang. Jaminan orang
dimaksud harus orang yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan
seperti : pengacaranya, keluarganya atau kepala desa.
b.
Menanamkan pemahaman kepada seluruh anggota Polri
khususnya para penyidik tentang peraturan dan perundang-undangan yang menjadi
dasar dalam melaksanakan tugasnya. Dengan adanya pemahaman yang benar tentunya
dapat mengaplikasikannya secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
c.
Melaksanakan penataran secara terintegrasi dengan
Criminal Justice System (CJS) pada tingkat Polda dengan melibatkan atau
mengikut sertakan seluruh penyidik sampai tingkat Polsek, adapun topik atau
materi tentunya yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penegakan
hukum (penyidikan) yang didalamnya ada ketentuan mengatur tentang penangguhan
penahanan yang dapat dilaksanakan pada semua tingkatan dalam penegakan hukum.
Pembicara / pemberi materi berasal dari pejabat CJS dan para pemerhati hukum
dengan maksud agar dapat menyampaikan fakta-fakta atau opini yang ada dan
berkembang dimasyarakat saat ini tentang kinerja aparat penegak hukum.
Tujuan penataran tersebut guna adanya kesamaan visi dalam penerapan hukum
khususnya dalam penerapan aturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang
penangguhan penahanan, sehingga diharapkan adanya kesamaan pemahaman dan pola
tindak atau aplikasinya dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat.
d.
Program pembinaan mental disiplin personel Polri, pembinaan sikap mental
merupakan hal yang paling utama harus dibina, bagaimana pun baiknya suatu
peraturan atau perundang - undangan dan didukung oleh pelaksana hukum yang
cakap dan terampil, semua itu tidak ada manfaatnya apabila aparat penegak
hukumnya memiliki mentalitas yang bobrok. sikap mental yang dituntut sesuai
landasan falsafah KUHAP, yaitu pejabat hukum yang bertakwa kepada Tuhan serta
bermoral prikemanusiaan yang adil dan beradab.
e.
Penindakan dan penertiban terhadap penyidik yang
menyalahgunakan kewenangan dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan
penangguhan penahanan, penertiban tersebut tentunya tidak cukup dalam lingkup
interen Kepolisian saja sedangkan kejaksaan dan pengadilan tidak. pembinaan
yang seperti ini akan menimbulkan kepincangan dalam proses pelaksanaannya.
sebagai mana diketahui bahwa setiap instansi aparat penegak hukum merupakan
“subsistem” yang mendukung “total system” proses penegakan hukum dalam satu
kesatuan yang menyeluruh.
f.
Program pembinaan terhadap anggota Polri khususnya
penyidik, yang menyangkut pembinaan ketrampilan, pelayanan, kejujuran, dan
kewibawaan. Pembinaan tersebut sejalan dengan gerak pembaharuan hukum yang
apabila tidak dibarengi dengan peningkatan pembinaan para aparatnya,
mengakibatkan hukum yang diperbaharui tidak akan berarti apa-apa. Kebaikan,
kesempurnaan Hukum Acara Pidana sangat ditentukan oleh baik buruknya aparat pelaksananya.
g.
Melaksanakan program sosialisasi hukum kepada masyarakat dengan memberikan
pengertian kepada masyarakat sejelas-jelasnya tentang ketentuan pasal 31 KUHAP
dan PP No. 27 tahun 1983, bahwa untuk melakukan penangguhan penahanan
diperlukan uang jaminan dan memberi pengertian kepada masyarakat bahwa uang
jaminan tersebut bukan untuk penyidik, namun diserahkan kepada panitera
Pengadilan Negeri. Apabila penjamin dapat menghadapkan atau menghadirkan tersangka kepada penyidik saat dibutuhkan
maka uang jaminan tersebut akan kembali lagi kepada tersangka atau keluarga
tersangka. Tingginya kesadaran hak dan kewajiban hukum masyarakat, akan tidak
mudah dipermainkan dengan kewenangan-kewenangan aparat penegak hukum. Pada
setiap saat siap masyarakat dapat mempertahankan hak-hak asasinya dari
penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum , serta dapat memikul tanggung
jawab yang diwajibkan hukum kepada dirinya.
h.
Meningkatkan koordinasi terhadap Criminal Justise
System (CJS) apabila akan melakukan penangguhan diwajibkan untuk menyerahkan
uang jaminan kepada panitera pengadilan negeri dan uang jaminan tersebut
jumlahnya disamakan dengan jaminan pada saat tersangka ditangguhkan oleh
penyidik Polri, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan dampak negatif dimata
masyarakat karena terdapat perbedaan
jumlah uang jaminan penangguhan penahanan yang dikenakan/diterapkan terhadap
tersangka.
i.
Memotifasi anggota Polri agar mengikuti perkuliahan
dibidang ilmu hukum di Universitas karena standarisasi anggota Reskrim harus
menguasai ilmu hukum. hal tersebut sejalan dengan perkembangan lingkungan
strategis, bagaimana penyidik dapat berkoordinasi dengan baik untuk
mempengaruhi aparat penegak hukum lainnya yang memiliki latar belakang
pendidikan minimal sarjana (S1). demikian pula halnya dengan masyarakat yang
dilayani yang dewasa ini memiliki pendidikan yang cukup tinggi.
j.
Membangun
kultur Polri dalam rangka mewujudkan Polri yang profesional. Untuk mewujudkan
itu salah satu foktor yang dominan harus dimulai dari para pimpinan-pimpinan
Polri dalam arti dapat memberikan contoh dan tauladan kepada bawahannya,
sehingga terjadi suatu proses penularan prilaku yang baik/positif yang dapat
ditiru oleh bawahannya. Selama
pimpinan-pimpinan Polri tidak dapat memberikan contoh dan tauladan yang
baik, jangan mengharapkan suatu perubahan sikap, prilaku yang merupakan bagian
dari kultur Polri. Sudah seharusnya pola hidup dengan memuja harta (hedonist life) harus dihilangkan,
sehingga tidak mempengaruhi kedalam tugas penegakan hukum dan penyimpangan
kewenangan sekecil apapun guna kepentingan pribadi, lambat laun dapat dikikis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar